Pengaruh globalisasi disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yangnegatif bagi kebudayaan bangsa Indonesia . Norma-norma yang terkandung dalamkebudayaan bangsa Indonesia perlahan-lahan mulai pudar. Gencarnya serbuanteknologi disertai nilai-nilai interinsik yang diberlakukan di dalamnya, telahmenimbulkan isu mengenai globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan nilai barutentang kesatuan dunia. Radhakrishnan dalam bukunya Eastern Religion andWestern Though (1924) menyatakan “untuk pertama kalinya dalam sejarah umatmanusia, kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita, entah sukaatau tidak, Timur dan Barat telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah?
Artinya adalah bahwa antara barat dan timur tidak ada lagi perbedaan. Ataudengan kata lain kebudayaan kita dilebur dengan kebudayaan asing. Apabila timurdan barat bersatu, masihkah ada ciri khas kebudayaan kita? Ataukah kita larutdalam budaya bangsa lain tanpa meninggalkan sedikitpun sistem nilai kita?
Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepadapertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya dapatdikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan. Jennifer Lindsay (1995)dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secaraefektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melaluicampur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dantidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural ataukonteks kultural.
Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkahlaku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di manabanyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agarsesuai dengan tuntutan pembangunan.Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadihambar dan tidak ada rasa seninya lagi.
Melihat kecenderungan tersebut, aparatpemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunandan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan.Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian
secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam danbukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan. Dengan demikian,kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadaiuntuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu, secara tidak langsungkesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-modelpembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional. Sebagai contoh daripermasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah Betawi yaitu, taricokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan disesuaikan oleh aparatpemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan politikpemerintah.Aparat pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehinggakesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapatmembosankan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki terhadapkeaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat tersebut, makapemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelindung danpengayom kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur dalam prosesestetikanya. Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan danadan bantuan pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatanpemerintah dan bagi para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pulamembuat keputusan sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas) yangdiinginkan para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus‘melakoni’ dengan benar-benar peranannya sebagai pengayom yang melindungikeaslian dan perkembangan secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harusmerubah dan menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan politik. Globalisasiinformasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium baru seperti saat iniadalah sesuatu yang tak dapat dielakkan.
Kita harus beradaptasi dengannyakarena banyak manfaat yang bisa diperoleh.Harus diakui bahwa teknologi komunikasi sebagai salah produk darimodernisasi bermanfaat besar bagi terciptanya dialog dan demokratisasi budayasecara masal dan merata. Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadapbudaya. Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikaninformasi tentang keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. Kontak budaya ini memberikan masukan yangpenting bagi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan nilai-nilaidan persepsi dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini. Kesenianbangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah jugatidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga untuk melakukanpenyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukanpengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikankekuatan lokal atau etnis. Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasidengan memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampaihanya menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnyapemerintah, dalam rangka keperluan turisme, politik dsb.
Selama ini pembinaandan pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masihsebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupankesenian yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannyaberkembang dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat.Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukupberat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modernini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baikdalam menentukan kualitas maupun selera. Hal ini sangat memungkinkankeberadaan dan eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mataoleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakanimbas dari budaya pop. Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapaalternatif untuk mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM )bagi para seniman rakyat. Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintahsebagai pengayom dan pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannyademi kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek ataudana-dana untuk pembangunan dalam bidang ekonomi saja
Sumber : http://boimzenji.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar